Kematian, bagian dari lautan kehidupan*


"Katakan, Darvish, apa yang terjadi pada saat kematian?"—tanya seorang Sultan.

"Kematian? Kenapa menanyakan tentang kematian? Kenapa tidak tentang kehidupan? Lagipula, Sultan, begitu banyak alim ulama dan cendikiawan yang mengililingi Baginda. Mereka pandai menafsirkan ayat-ayat suci. Tanyakan kepada mereka."—jawab Sang Darvish, Sang master.

"Saya sudah menanyakan kepada mereka, dan jawaban mereka sangat tidak memuaskan."

"Ah, kalau begitu Baginda sedang mencari jawaban yang bisa memuaskan. Berarti, Baginda sudah memiliki pandangan. Lalu, setiap jawaban dicocok-cocokkan dengan pandangan itu. Rupanya, sementara ini tidak ada jawaban yang cocok dengan pandangan Baginda. Dan Baginda tidak puas."

Sang Sultan diam sejenak. Ia seorang pemimpin yang bijak dan memahami betul maksud Sang Darvish, "Mungkin, mungkin Darvish—mungkin demikian. Tetapi di atas segalanya, aku sedang mencari kebenaran."

"Mencari kebenaran, Aalam-Panaah (Pelindung Dunia—bhs. Persia)? 'Kebenaran'—Al-Haqq?"

"Ya, Kebenaran."

"Tetapi Kebenaran itu sangat menyilaukan. Seperti cahaya seribu matahari. Sanggupkah Baginda menatapnya?"

"Aku akan berusaha..."

"Baik, baik. Jika demikian, dengarkan! Kau bukan seorang Sultan; bukan pula Aalam-Panaah, karena sesungguhnya yang melindungi alam semesta adalah Kebenaran itu sendiri. Kau pun dalam perlindungannya. Kau tidak lebih baik daripada cacing yang hidup dan mati di kali."—suara Sang Darvish seperti petir.

Wajah Sang Sultan menjadi merah, tetapi ia berhasil menahan luapan amarahnya, "Terima kasih. Ya, Kebenaran itu sangat menyilaukan. Dan, untuk sesaat mataku pun hampir tertutup. Tetapi, aku masih sadar. Ya, aku tidak lebih baik daripada cacing yang lahir dan mati di kali. Itulah kebenaran diriku—kebenaran diri setiap insan, setiap makhluk hidup. Dibekali dengan kesadaran ini, layakkah aku mengetahui tetang kematian? Apa hakikat kematian?"

"Terbukti matamu bisa tahan silau. Tetapi, bagaimana dengan telingamu? Mampukah kedua telingamu mendengarkan Kebenaran? Suara Kebenaran melebihi suara geledek. Selaput telingamu bisa robek."

"Apa gunanya sepasang telinga yang tidak mampu mendengarkan Kebenaran? Biarkan selaput telingaku robek, aku tetap ingin mendengarkan Suara Kebenaran."—desak Sang Sultan.

"Baiklah, pada suatu ketika nanti aku akan datang ke istanamu, untuk menyampaikan Suara Kebenaran. Sekarang, pulanglah ke istanamu. Allah Haafiz—Semoga Allah melindungi kamu."—dan tanpa menunggu jawaban Sultan, Sang Darvish masuk kembali ke dalam gubuknya.

*****

Setahun kemudian, Sang Darvish mendatangi istana Sultan. Begitu diberitahu tentang kedatangan Darvish, Sultan pun bergegas ke gerbang utama untuk menjemputnya. Turut serta bersama Sultan, Sang Putra Mahkota—anak tunggal Sang Sultan. Mereka menyalami Sang Darvish, "Selamat datang. Silakan masuk Darvish."

"Tunggu dulu, biarkan aku memberkati putramu dulu."—kata Sang Darvish.

Lalu, ia menepuk-nepuk kepala pangeran seraya memberkatinya, "Kamu akan mati."

Sang Sultan seperti tidak mempercayai telinganya sendiri, "Apa?"

Di antara para menteri bahkan ada yang sudah mengeluarkan pedang dari sarungnya.

"Apa yang kau katakan, Darvish? Untuk itukah kau datang ke sini? Untuk mengutuk anakku? Untuk menyumpahinya?"—Sang Sultan marah betul.

"Untuk mengutuk anakmu? Untuk menyumpahinya? Apa yang kau katakan, Sultan? Apa maksudmu?"—tanya si Darvish.

"Bukankah itu kutukan? Kata-katamu itu... oh semoga Allah mengampunimu! Bukankah kau menyumpahi anakku? Menyumpahi putra mahkota?"

"Kau keliru menafsirkan kata-kataku. Untuk apa aku harus mengutuk anakmu? Untuk apa aku harus menyumpahinya? Aku hanya memberikan sebuah pernyataan, 'Kau akan mati'. Dan pernyataanku itu berlaku bagi setiap insan, bagi setiap makhluk hidup. Yang lahir pasti akan mati. Aku hanya menyampaikan Kebenaran, Sultan. Kau pernah menanyakan, dan aku datang untuk menyampaikannya. Sultan, rupanya kau belum bisa menerima Kebenaran."

Sang Sultan mengenang kembali pertemuannya dengan Darvish itu. Ia masih ingat kata-kata Sang Darvish, "......bagaimana dengan telingamu? Mampukah kedua telingamu mendengarkan Kebenaran? Suara Kebenaran melebihi suara geledek. Selaput telingamu bisa robek."

Ia menundukkan kepalanya, "Benar, Darvish, kau benar... Suara Kebenaran melebihi suara petir, suara geledek. Selaput telingaku hapir robek."

"Itulah kebenaran. Pahit, sulit diterima. Hanya para pemberani yang bisa menerimanya. Dengarkan, Sultan—kematian itulah pintu menuju Kebenaran. Di balik kematian itu akan kau temukan Kebenaran. Kelahiran dan kematian ibarat ombak dalam lautan kehidupan. Sesaat ada, sesaat lagi tidak ada. Lautan kehidupan itulah Kebenaran, itulah Allah."

"Lautan Kehidupan, Kebenaran, Allah... Lalu untuk apa kelahiran ini? Untuk apa kematian ini? Untuk apa ada ombak?"

"Tanyakan pada laut, dan ia akan menertawakan kamu. Ombak? Ombak apa? Semuanya ini aku. Tidak ada yang terpisah dariku!"

Sang Sultan membisu. Ia baru sadar. Yang sedang ia hadapi bukanlah ombak—tetapi lautan kehidupan. Ombak tidak pernah berpisah dari laut. Yang melihat perpisahan adalah mereka yang belum menyatu, belum bersatu dengan laut. Mereka masih berada di pantai. Mereka merayakan munculnya ombak—itu yang mereka sebut "kelahiran". Lalu mereka menyayangkan lenyapnya ombak—itu yang mereka sebut "kematian". Padahal kelahiran itu tidak ada, kematian pun tidak ada. Yang ada hanyalah lautan kehidupan.

"Kenapa para alim-ulama, para cendikiawan tidak dapat melihat kebenaran itu?"—tanya Sang Sultan. Tetapi, sudah terlambat. Yang menjawab sudah tidak ada lagi. Sang Darvish sudah pergi. "Ah, aku terlambat lagi."—pikir Sang Sultan.

"Terlambat untuk apa?"—tanya tiupan angin yang kebetulan sedang lewat.

"Terlambat bertanya. Dan, sekarang Darvish itu sudah tidak ada. Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku."

"Pertanyaan dan jawaban bagaikan kelahiran dan kematian. Dalam kelahiran ada kematian, dan dalam kematian ada kelahiran. Dalam pertanyaan ada jawaban, dan dalam jawaban ada pertanyaan."—sambil berkicau, seekor burung menjawabnya.

Seorang darvish, lalu tiupan angin, dan sekarang kicauan burung. Mereka semua sedang menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba, ia mendengar suara muezzin, "Allahu Akbar......"

Ya, Allah Maha Besar, Maha Luas...... Dan untuk terakhir kalinya, Sang Sultan bingung kembali. Kebingungan yang indah, yang manis, "Ke arah mana aku harus menoleh? Apa yang harus kujadikan kiblatku? Di mana-mana kulihat Wajah-Nya......"

*****

Tiupan angin menyebarkan ihwal kebingungan Sang Sultan. Kicauan burung menyampaikannya sampai ke pelosok-pelosok.

Sore itu, para alim-ulama dan cendekiawan berkumpul, "Sultan kita sudah dipengaruhi oleh seorang darvish yang tidak tahu-menahu tentang peraturan agama. Kita harus bersatu untuk menyingkirkan dia dari kekuasaan. Ia harus turun, karena sudah tidak layak menjadi pemimpin lagi. Ia menyangsikan peraturan agama tentang kiblat. Ia seorang murtad, kafir..."

Bersama, mereka mengeluarkan fatwa:

"Ketahuilah, rakyat yang saleh dan taat pada peraturan agama, bahwa yang memimpin kalian selama ini telah menyangsikan akidah agama. Oleh karena itu, ia tidak patut menjadi pemimpin lagi."

Kembali tiupan angin berlaga dan berita ini pun tersebar dalam sekejap. Sang Sultan yang masih bingung dan belum bisa menentukan kiblatnya mendengarkan pula. Lalu, tiba-tiba ia ketawa terbahak-bahak, "Ah, demikianlah Kebenaran.........."

Malam itu, ia meninggalkan istananya.

*****

Dalam pengembaraannya, pada suatu ketika ia bertemu dengan Sang Darvish. Tidak terjadi dialog apa pun. Mereka saling peluk-pelukan. Lalu, sesaat kemudian berpisah kembali. Masing-masing melanjutkan perjalanannya.....


*) Diketik ulang dari buku "Kematian: Panduan untuk menghadapinya dengan senyuman", karangan Anand Krishna, Gramedia, 2008. Buku-buku lain yang menarik untuk dibaca, seperti: "Alam kehidupan sesudah mati", karangan Gede Kamajaya, Paramita (2001), dan "Dialogue with Death", karangan Eknath Eswaran (1992).