Sulit mendapatkan uang*


Seorang pedagang bernama Dhanraj, tinggal di sebuah kota. Usahanya mengalami perkembangan yang pesat sekali. Dhanraj hanya mempunyai seorang putra. Namanya Chander. Chander adalah hanya satu-satunya anak dari orangtuanya. Permintaan pada orangtuanya sudah melampaui batas. Jadilah Chander seorang anak yang manja. Perlakuan yang salah ini terbawa sampai Chander memasuki usia dewasa, ia tidak lebih dari sampah orang yang sangat tidak berguna. Ia juga menghabiskan uang dengan royal.

Dhanraj sudah mulai menua. Ia menginginkan agar Chander mesti bekerja menggantikan ayahnya. Namun Chander tidak peduli. Pada suatu hari Dhanraj memutuskan untuk mengajarkan putranya sebuah pelajaran. Ia memanggil putranya dan memerintahkan. "Hari ini engkau harus mendapatkan uang. Pergilah kemana saja, lakukan apa saja, namun harus memperoleh sesuatu. Kalau tidak engkau tidak akan diberikan makan."

Chander tidak ingin bekerja. Ia memohon kepada ibunya agar diberikan uang satu rupee saja, sehingga ia dapat memperlihatkan bukti kepada ayahnya. Ibunya menolaknya. Namun Chander merengek-rengek kepada ibunya secara berulang-ulang, akhirnya ibunya memberikan uang logam satu rupee kepada Chander. Pada malam hari ayahnya menanyakan -- "Apakah engkau telah mendapatkan sesuatu?" Chander memperlihatkan satu rupee uang logam. Dhanraj meminta agar membuangnya di atas dinding. Tanpa ragu, Chander mengikuti perintah ayahnya dan membuangnya ke atas dinding.

Dhanraj menyadari kebenaran dan mengirim istrinya kepada orangtuanya. Keesokannya, Dhanraj kembali memerintahkan Chander untuk memperoleh sesuatu atau ia tidak akan diberikan makanan. Chander menemui kakak perempuannya dan mulai menangis. Ia menceritakan kepada kakak perempuannya tentang perintah ayahnya. Kakaknya sangat kasihan kepada adiknya. Ia juga memberinya satu rupee uang logam.

Dhanraj pada suatu malam pergi ke tokonya. Ia memanggil Chander dan menanyakan apakah ia sudah memperoleh sesuatu. Chander mengeluarkan uang logamnya dan menunjukkan kepada ayahnya. Dhanraj mengatakan kepada Chander -- "Putraku, pergilah dan buang uang logam itu ke atas dinding." Chander mematuhi perintah ayahnya dan membuang uang logam itu ke atas dinding. Ini membuat Dhanraj curiga. Ia menanyakan kepada putrinya namun putrinya tidak mengatakan apapun. Dhanraj mengirim putrinya ke rumah mertuanya.

Keesokan harinya, Dhanraj kembali meminta Chander untuk pergi dan mendapatkan sesuatu. Chander menjadi takut kali ini sebab tiada seorang pun yang akan membantunya. Seharian ia terus melamun memikirkan pemecahannya. Chander mengetahui bahwa ayahnya akan kembali pada saat yang sama dari toko. Chander sama sekali tidak pernah bekerja di dalam hidupnya, ia sangat kalut. Ia tidak tahu bagaimana cara memperoleh uang. Tiba-tiba ia mendapatkan gagasan bagus untuk pergi menuju rel kereta api. Di sana ia melihat seorang yang sudah tua sedang menunggu seorang kuli. Chander tidak memiliki alternatif lain dan menawarkan untuk mengangkat barang.

Orangtua itu memasukkan barang-barangnya ke atas kereta, dan memberikannya seperlima puluh paisa. Chander mengambilnya sambil menahan sakit dan gatal. Ia kembali ke rumah dengan rasa haus dan lapar. Ayahnya sedang menunggunya. Dhanraj bertanya, "Apakah engkau memperoleh sesuatu hari ini?"

Chander menunjukkan uang logam seperlimapuluh paisa. Dhanraj memintanya untuk melempar uang itu ke atas dinding sebagaimana dilakukan sebelumnya. Chander menjadi marah dan berteriak -- "Apakah ayah tahu, bagaimana aku telah bekerja keras untuk mendapatkan uang ini? Dan sekarang ayah ingin agar aku melemparkannya. Seluruh tubuhku gatal-gatal dan sakit Ayah, Aku bukan seorang anak yang tolol yang mau melemparkan uangnya dengan sia-sia dan ini adalah hasil jerih payahku."

Akhirnya Dhanraj mengatakan -- "Aku ingin engkau menyadari bahwa uang yang diperoleh dengan susah payah seharusnya membuat orang menyadari nilainya. Sekarang ayah sudah bulat akan menyerahkan sepenuhnya usaha ini kepadamu. Engkau harus menyadari kebenaran ini."


*) Dikutip dari buku "101 Cerita Nenek" diterjemahkan oleh Made Aripta Wibawa, Paramita, Surabaya, hal. 2-4.